Relung Senja : Hujan
Tak ada yang lebih sabar dari hujan, sedang dan setia menemani lembaran hari seperti kesetiaan rindu seperti saat ini masih setia terjaga pada diri insan rapuh yang percaya bahwa hujan akan menyapa pada jiwa yang dirindu dari seorang insan yang menrindukannya juga.
Tak ada yang lebih bijak selain hujan, sebab semua jejak tentang pedihnya penantian dan kecewanya perlahan terkikis habis bersama air di sepanjang perjalanan yang terlewati oleh kisah dan segudang kenangan pedih yang sukar dan sayang jika harus dilupakan.
Tak ada yang lebih ikhlas selain hujan, sebab semua keluh kesah kehidupan tentang kekecewaan, kebencian dan kebahagiaan melebur menjadi satu dalam lautan muara yang mewakili jutaan rasa yang terluka, juga tentang jiwa yang tersiksa oleh kata, maka hujan menjadi pelipur lara saat diri tak mampu berucap pada dunia.
Namun hujan bisa menjelma menjadi mahkluk yang berbahaya, sebab rasa tak pernah sama bahagia duka saling menyapa namun bertentangga, terkadang saling menjaga juga saling memberi luka yang lahir pada rasa curiga dalam bahtera hidup diantara mereka.
Hujan mengajarkan kita kesabaran tentang menanti, tentang hidup yang sedang dijalani dan tentang jalan yang perlahan ditapaki, hujan menyapa memaksa diri untuk menepi menunggu semuanya berhenti, hingga pada satu titik saat sabar tak lagi menjadi alasan sebab jika hanya menanti dan tak ada kabar pasti, hingga pada akhirnya hanya ada dua jalan yang mesti di jajaki tetap menanti hujan reda atau menerjang kesabaran dengan berlari dengan konsekuensi yang akan didapatkan kemudian hari.
Aku benci pada hujan sebab hadir dan pergi tanpa kepastian, hadir menyapa dengan kejenuhan untuk menanti, dan pergi sesuka hati menoreh luka tak terkira pada jutaan rasa yang terluka karenanya, jika aku bisa dan berdaya akan ku hentikan hujan sebab mentari yang indah merindukanku disebrang sana, akan ku hadirkan kabut pagi perlahan menyambut mentari indah diujung mata memandang.
Tak ada yang lebih sabar dari hujan, sedang dan setia menemani lembaran hari seperti kesetiaan rindu seperti saat ini masih setia terjaga pada diri insan rapuh yang percaya bahwa hujan akan menyapa pada jiwa yang dirindu dari seorang insan yang menrindukannya juga.
Tak ada yang lebih bijak selain hujan, sebab semua jejak tentang pedihnya penantian dan kecewanya perlahan terkikis habis bersama air di sepanjang perjalanan yang terlewati oleh kisah dan segudang kenangan pedih yang sukar dan sayang jika harus dilupakan.
Tak ada yang lebih ikhlas selain hujan, sebab semua keluh kesah kehidupan tentang kekecewaan, kebencian dan kebahagiaan melebur menjadi satu dalam lautan muara yang mewakili jutaan rasa yang terluka, juga tentang jiwa yang tersiksa oleh kata, maka hujan menjadi pelipur lara saat diri tak mampu berucap pada dunia.
Namun hujan bisa menjelma menjadi mahkluk yang berbahaya, sebab rasa tak pernah sama bahagia duka saling menyapa namun bertentangga, terkadang saling menjaga juga saling memberi luka yang lahir pada rasa curiga dalam bahtera hidup diantara mereka.
Hujan mengajarkan kita kesabaran tentang menanti, tentang hidup yang sedang dijalani dan tentang jalan yang perlahan ditapaki, hujan menyapa memaksa diri untuk menepi menunggu semuanya berhenti, hingga pada satu titik saat sabar tak lagi menjadi alasan sebab jika hanya menanti dan tak ada kabar pasti, hingga pada akhirnya hanya ada dua jalan yang mesti di jajaki tetap menanti hujan reda atau menerjang kesabaran dengan berlari dengan konsekuensi yang akan didapatkan kemudian hari.
Aku benci pada hujan sebab hadir dan pergi tanpa kepastian, hadir menyapa dengan kejenuhan untuk menanti, dan pergi sesuka hati menoreh luka tak terkira pada jutaan rasa yang terluka karenanya, jika aku bisa dan berdaya akan ku hentikan hujan sebab mentari yang indah merindukanku disebrang sana, akan ku hadirkan kabut pagi perlahan menyambut mentari indah diujung mata memandang.
Relung Senja : Hujan
Tak ada yang lebih sabar dari hujan, sedang dan setia menemani lembaran hari seperti kesetiaan rindu seperti saat ini masih setia terjaga pada diri insan rapuh yang percaya bahwa hujan akan menyapa pada jiwa yang dirindu dari seorang insan yang menrindukannya juga.
Tak ada yang lebih bijak selain hujan, sebab semua jejak tentang pedihnya penantian dan kecewanya perlahan terkikis habis bersama air di sepanjang perjalanan yang terlewati oleh kisah dan segudang kenangan pedih yang sukar dan sayang jika harus dilupakan.
Tak ada yang lebih ikhlas selain hujan, sebab semua keluh kesah kehidupan tentang kekecewaan, kebencian dan kebahagiaan melebur menjadi satu dalam lautan muara yang mewakili jutaan rasa yang terluka, juga tentang jiwa yang tersiksa oleh kata, maka hujan menjadi pelipur lara saat diri tak mampu berucap pada dunia.
Namun hujan bisa menjelma menjadi mahkluk yang berbahaya, sebab rasa tak pernah sama bahagia duka saling menyapa namun bertentangga, terkadang saling menjaga juga saling memberi luka yang lahir pada rasa curiga dalam bahtera hidup diantara mereka.
Hujan mengajarkan kita kesabaran tentang menanti, tentang hidup yang sedang dijalani dan tentang jalan yang perlahan ditapaki, hujan menyapa memaksa diri untuk menepi menunggu semuanya berhenti, hingga pada satu titik saat sabar tak lagi menjadi alasan sebab jika hanya menanti dan tak ada kabar pasti, hingga pada akhirnya hanya ada dua jalan yang mesti di jajaki tetap menanti hujan reda atau menerjang kesabaran dengan berlari dengan konsekuensi yang akan didapatkan kemudian hari.
Aku benci pada hujan sebab hadir dan pergi tanpa kepastian, hadir menyapa dengan kejenuhan untuk menanti, dan pergi sesuka hati menoreh luka tak terkira pada jutaan rasa yang terluka karenanya, jika aku bisa dan berdaya akan ku hentikan hujan sebab mentari yang indah merindukanku disebrang sana, akan ku hadirkan kabut pagi perlahan menyambut mentari indah diujung mata memandang.


